Hadist Buih

0
441
foam

Hadist buih menjadi hadist yang populer akhir-akhir ini apalagi setelah muncul polemik terkait kicauan lewat twitter oleh seorang akademisi Indonesia yang mengutip dan mengaitkan hadist ini dengan peserta aksi damai 212 di Monas. Kicauannya tersebut mengundang polemik. Banyak yang mengecam ketidaktepatan pemakaian hadist terhadap aksi damai 212.

Hadist tentang buih tersebut bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:

Rasulullah bersabda “Akan datang suatu masa, dalam waktu dekat, ketika bangsa-bangsa (musuh-musuh Islam) bersatu-padu mengalahkan (memperebutkan) kalian. Mereka seperti gerombolan orang rakus yang berkerumun untuk berebut hidangan makanan yang ada di sekitar mereka”. Salah seorang shahabat bertanya: “Apakah karena kami (kaum Muslimin) ketika itu sedikit?” Rasulullah menjawab: “Tidak! Bahkan kalian waktu itu sangat banyak jumlahnya. Tetapi kalian bagaikan buih di atas lautan (yang terombang-ambing). (Ketika itu) Allah telah mencabut rasa takut kepadamu dari hati musuh-musuh kalian, dan Allah telah menancapkan di dalam hati kalian ‘wahn’”. Seorang shahabat Rasulullah bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan ‘wahn’ itu?” Dijawab oleh Rasulullah saw.: “Cinta kepada dunia dan takut (benci) kepada mati”. (dalam at-Tarikh al-Kabir, Imam Bukhari; Tartib Musnad Imam Ahmad XXIV/31-32; “Sunan Abu Daud”, hadis No. 4279)

Saya bukanlah ahli hadist, tidak memahami ilmu mutsolah hadist, dan bukanlah seorang Ustadz. Sebuah disclaimer saya nyatakan sejak mula. Namun justru lewat tulisan inilah saya sebagai pengkaji analisis teks hendak membacanya dan berbagi mengenai pembacaan saya akan teks hadist tersebut. Jikalau ada kesalahan di dalam pembacaan saya, lewat tulisan ini semoga saya bisa dikoreksi dan mendapat manfaat darinya.

Hadist buih tersebut berbicara mengenai kuantitas dan kualitas umat Islam di suatu masa nanti. Rasulullah saw. menubuahkan bahwa kelak umat Islam akan banyak kuantitasnya namun kualitasnya kurang sehingga umat-umat lain sudah tidak ada kegentaran lagi untuk menjadikannya seolah sebagai hidangan yang dikerumuni.

Sebagaimana bunyi letterlijk teks tersebut, kualitas kurang yang disebutkan oleh Rasulullah saw. pada masa tersebut adalah bersebab sudah terjangkit wahn; cinta kepada dunia dan takut kepada mati.

Jikalau menyimak hadist buih yang menyebutkan tentang wahn tersebut, menurut saya, adalah tidak pantas menyebut aksi 212 dengan sebutan kerumunan berkualitas buih dengan menyandarkan pada hadist ini.

Aksi 212 yang merupakan aksi damai terhadap penyegeraan penggarapan kasus Ahok yang dianggap oleh sebagian besar [baca: banyak] umat Islam di Indonesia kurang menghormati keyakinan liyan mengenai tafsir suatu ayat di Quran. Malah terjadi pelecehan jika aksi itu disindir dengan hadist buih.

Seolah-olah bahwa yang berjalan kaki dari Ciamis, yang bersedekah dagangannya, yang terpaksa ikhlas dipecat kerja oleh bosnya, yang melonggarkan waktunya, yang menahan diri dari amok untuk mengikuti koridor ‘demokrasi’ di dalam memperjuangkan keyakinannya adalah bukan, dan tidak, ciri orang yang terkena wahn. Justru sebaliknya.

Aksi tersebut, dan ini diekspresikan berulang kali oleh banyak tokoh yang terlibat aksi 212, diniatkan agar fokus pada gugatan kepada cemoohan Ahok atas tafsir yang diyakini sebagian umat Islam atas ayat 51 surat Al Maidah. Lihatlah misalnya, Haedar Nashir mewanti-wanti agar aksi 212 agar “jangan ikut irama orang dan terprovokasi oleh siapapun” atau dengan kata lain agar meluruskan niat dan membersihkan hati “jika fokus dan yang menjadi alasan [adalah] membela Islam.” Dan oleh sebab itulah Haedar Nashir nampak di dalam aksi 212 memberikan dukungannya.

Perlu dicatat, Rasulullah saw. di dalam hadist tersebut tidak menyinggung perkara yang berkelindan dengan ketertinggalan teknologi, kemakmuran ekonomi, belum majunya pendidikan, belum gencarnya riset ilmu pengetahuan. Namun tentu saja akan sangat naif juga jikalau kita menafsirkan bahwa Rasulullah mengajarkan pengabaian hal-hal tersebut sebab salah satu semangat di dalam Islam adalah juga jangan abaikan duniamu. Sebagaimana nasehat Haedar Nashir sembari mengingatkan umat Islam mengenai hal-hal lain di dalam umat Islam yang membuatnya seperti buih sebab “mengumpulkan orang demo memang lebih mudah, berbeda dengan mengajak orang ke perpustakaan atau mengembangkan ilmu pengetahuan.” Akan tetapi, sekali lagi, hadist mengenai buih di lautan fokus berbicara kualitas muslim justru dialamatkan pada terjangkit penyakit wahn di dalam dada-dada kaum muslimin. Dan kita semua tahu tentang itu.

Entah jikalau misalnya ada tafsiran kontekstual, tafsiran progresif, tafsiran hermeneutika, yang “sangat jauh” melampaui teks tertulis dan sering merendahkan gaya penafsiran teks yang tekstualis [meski sejatinya mereka semua tahu bahwa penafsir yang dilecehkan dengan istilah penafsir tekstualis juga melibatkan sebab turun dan konteks turun semisal bagaimana pendengar awal teks mengimplementasikan, dan bagaimana ia tetap relevan pada kekinian], memiliki penafsiran lain mengenai hadist buih di lautan ini. Rasa-rasanya mustahil jika melihat bunyi teks hadist buih tersebut.

Penjelasan yang berputar-putar mengenai hadist buih ketika secara kontekstual hadist ini benar-benar dipakai di dalam menyindir aksi 212 bahkan dengan apologia otokritik bagi saya adalah justru membuat perih hati. Hati saya dan mungkin banyak hati lainnya.