Menyemai Kearifan di Tahun Baru

0
333
wisdom

Albert Einstein pernah berkata: “Wisdom is not a product of schooling but of the lifelong attempt to acquire it”. Bagi Einstein, kearifan bukanlah produk pendidikan kita. Artinya, ilmu yang diperoleh di sekolah atau kampus tidak serta-merta menjadikan seseorang menjadi arif. Kepintaran otak tidak otomatis menjadikan kita memiliki sikap bijak. Kearifan adalah hasil dari ikhtiar kita untuk menumbuhkannya sepanjang hayat.

Apakah parameter yang bisa kita gunakan untuk mengukur bijak tidaknya kita?

Rasulullah memberi jawaban: “Orang yang bijak adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya, mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk menjadi bekal setelah matinya……” (HR. Ahmad At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Ukuran kearifan seseorang yang pertama adalah KEMAMPUANNYA UNTUK MENUNDUKKAN HAWA NAFSU. Orang yang tak mampu mengontrol amarahnya, libido seksualnya, nafsu hedonisme dan nafsu materialismenya bukanlah orang yang arif. Ia akan menjadi budak dari hawa nafsunya. Ia akan rancu melihat kebenaran.

Termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang membuat keputusan-keputusan kehidupannya tidak berdasarkan spirit Quran dan ajaran Nabi, namun berdasarkan hawa nafsu, perasaan, persangkaan serta fanatisme kepada kelompok dan tokoh. Inilah yang oleh Nouman Ali disebut sebagai ‘HUKMUL JAHILLIYAH”.

Ukuran kedua kearifan seseorang adalah KEMAUAN DAN KEMAMPUANNYA UNTUK SELALU MENGINTROSPEKSI DAN MENGEVALUASI DIRI. Sahabat Umar pernah berkata: “Evaluasilah dirimu sebelum kita dievaluasi di hari penghakiman”. Kunci bagi evaluasi diri adalah jujur dalam melihat kelemahan-kelemahan diri kita baik dari segi akidah, akhlak, muamallah maupun ilmu dan kemauan kita untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut.

Ukuran ketiga kearifan seseorang adalah KEMAUAN DAN KEMAMPUANNYA UNTUK BERAMAL SHALEH. Dengarlah nasehat Rasulullah: “Iman itu diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan”.

Mahatma Gandhi, seorang pemimpin dari India, pernah berkata: “To believe in something, and not to act on it, is dishonest.” Memiliki keyakinan namun tidak membuktikannya dengan amal dan perbuatan adalah omong kosong.

Hampir mirip, Mitch Albom dalam bukunya ‘have a little faith: a true story” bertutur: “Faith is about doing. You are how you act, not just how you believe.”

Jelaslah, ukuran keagamaan adalah sejauh mana kita bisa mengejawantahkan iman kita dalam amal shaleh, kebaikan dan kebajikan.

Tahun baru 2017 adalah momentum bagi kita untuk menjadi manusia arif nan bijak !!

Melbourne, 1 Januari 2017
Ustadz Endro DH